Cendrawasih Kepulauan Aru
Cenderawasih bagi masyarakat Pribumi Aru, menjadi salah satu ikon kebanggaan karena keindahan bulu burung langkah yang juga sudah tenar di indonesia hingga ke manca negara ini. Mgr. Andreas Shol, MSc., dalam Jurnalnya; "Aru dari Tahun Nol" mengatakan, bahwa pada abad ke-XV, Cenderawasih dari Aru telah diburu oleh Bangsa Nepal, untuk memperoleh bulunya nan indah yang disematkan sebagai aksesoris Mahkota Raja Nepal,
sebagai perlambang memncarnya aura kewibawaan, kebesaran dan kemuliaan sang raja. Masih menurut Shol, bahwa Bangsa Nepal menganggap Bulu Burung Cenderawasih yang berkualitas terbaik adalah Bulu Burung Cenderawasih dari Kepulauan Aru, karena Bulunya yang berwarna Kuning Keemasan. Sebetulnya, jika ditilik secara saksama, terdapat lebih dari 17 kombinasi warna pada Bulu Burung Cenderawasih. itulah, mengapa bulu-bulu burung cenderawasih memiliki daya tarik bagi semua orang yang pernah melihatnya.
Legenda Burung Cenderawasih
Menurut legenda, yang dipercaya dan senantiasa menjadi ceritera turun-temurun (khususnya di kalangan masyarakat pribuni yang berasal dari puak Mangar), Cenderawasih adalah milik puak mereka, sehingga bilamana cenderawasih dipergunakan sebagai aksesoris kelengkapan pakaian adat dalam ritual perayaan adat ataupun pementasan dalam acara-acara seremonial tertentu oleh orang yang bukan berasal dari puak Mangar, maka mereka harus terlebih dahulu meminta izin dan restu penggunaan lisensi kepemilikan dari puak Mangar. Jika tidak, maka puak Mangar berhak untuk melarang dan atau menghentikan penggunaannya oleh sang pemakai tersebut. Namun, seiring dengan peradaban waktu dan komersialisasi sebagai akibat dari pembauran antar etnis, Ras dan Suku khususnya di Kepulauan Aru yang oleh orang disebut "Indonesia Mini" dengan 13 Etnis-nya selain Etnis Pribumi Aru, maka telah terjadi pengikisan nilai-nilai religius dan sakralisasi budaya. Hal mana berdampak pada penggunaan lambang-lambang adat istiadat dan budaya secara universal dengan mengabaikan nilai-nilai yang terwariskan sejak turun temurun dalam hubungan interaksi sosial yang terbangun di kalangan masyarakat pribumi Aru.
Ironis memang, jika berhadap-hadapan pemahaman tiap pihak terhadap legenda Burung Cenderawasih, antara masyarakat pribumi Aru - Provinsi Maluku - dengan pemahaman masyarakat pribumi Tidore - Halmahera Tengah - Provinsi Maluku Utara. Hal mana, masyarakat pribumi Aru memahami Legenda Burung Cenderawasih dengan anggapan bahwa: Cenderawasih pada mulanya merupakan burung yang tidak bisa terbang (hanya berlarian di atas tanah, yang konon pada suatu hari Burung Cenderawasih tersebut memakan makanan seorang ibu yang sedang bekerja di dapur - yang ketika mengetahui makanannya dicuri oleh Burung Cenderawasih tersebut - maka sang ibu lalu memukuli sang burung cenderawasih dengan "Sapu Lidi" (alat pembersih lantai yang terbuat dari batang tulang daun nyiur yang telah dibersihkan dari daunnya), hingga dua urat batang tulang daun nyiur tersebut tertancap di bokong sang cenderawasih - yang hingga sekarang, dua urat bulu utama yang lebih panjang dan berwarna cokelat kehitaman - dibanding bulu lainnya yang cenderung didominasi warna kuning kemerahan - disebut sebagai "tulang sapu" oleh masyarakat lokal Aru. selanjutnya, setelah dipukuli oleh perempuan tersebut, sang Burung Cenderawasih lantas melompat dan bertengger di atas puncuk sebuah pohon besar yang berada didekat rumah sang perempuan. Karena masih diliputi kemarahan, hati sang perempuan tersebut kepada sang Burung Cenderawasih, sepulangnya sang "Datuk Mangar" (tetua pribumi Aru dari puak "Mangar") dari perjalanan, maka oleh sang perempuan tadi, diprovokasinya-lah Datu Mangar untuk menebang pohon tempat bertengger sang Burung Cenderawasih, agar diambilkan untuknya. Sang Datuk Mangar menyetujuinya. Dalam proses penebangan pohon tersebut oleh Datuk Mangar, setiap tetelan kulit pun daging kayu hasil potongan dari Kapak yang digunakan Datuk Mangar untuk menebang pohon, berubah wujudnya menjadi Siput atau Kerang Cangkang Mutiara hingga berbagai macam hasil laut dan daratan lainnya yang menjadi kekayaan Sumber Daya Alam Aru hingga saat ini dan kemudian oleh Datuk Mangar, Burung Cenderawasih tadi dijadikan burung peliharaannya.
Disisi lain, terdapat versi legenda masyarakat pribumi Tidore yang sama sekali bertolak belakang dengan legenda yang dianut oleh masyarakat Pribumi Aru. Konon, menurut legenda yang dianut oleh pribumi Tidore, bahwa "Burung Cenderawasih adalah hadiah oleh Raja Tidore kepada Orang Aru, sebagai ungkapan penghargaan dan terima kasih Raja Tidore kepada Orang Aru yang telah merelakan seorang anak gadis Pribumi Aru untuk dipersunting oleh Raja Tidore sebagai permaisuri".
Untuk membuktikan secara ilmiah, memang belum ada kajian ilmiah manapun yang coba mengkonfrontir kedua legenda yang saling bertolak belakang satu sama lainnya ini. Tetapi secara logika, legenda versi orang pribumi Aru, jelas-jelas kontroversial terhadap konsep ilmu theos-logos, yang lebih memandang alam beserta segala isinya adalah merupakan hasil ciptaan Tuhan sebagai unsur klausa prima - penyebab mula-mula. Lain lagi, jika dikonfrontir dari sudut pandang sosialis-komunis, yang lebih cenderung menganggap alam beserta segala isinya, merupakan reaksi biologis dan unsur kimiawi dan berproses secara kosmosis. Siapakah yang benar...??? dan entah, siapakah yang keliru...??? Jawabannya ada dalam pikiran anda, para pembaca budiman... APAKAH JAWABMU...???
Yang jelasnya, apapun jawaban setiap kita, Legenda sebagai bagian entitas Seni, Budaya dan Adat Istiadat setiap masyarakat kita, hal tersebut sesungguhnya merupakan kekayan tak ternilai, dalam kaitannya dengan "Budaya sebagai Tempat Berpijak dalam setiap peradaban" - "Budaya sebagai Filter terhadap Globalisasi Nilai-nilai moral" - "Budaya sebagai Penyeimbang Keselarasan Hidup dan interaksi sosial masyarakat", sehingga penghargaan kita terhadap budaya adalah wujud cinta dan penghargaan kita terhadap nusa dan bangsa.....!!!